Sering kali umat Islam di Indonesia dikejutkan dengan munculnya aliran-aliran yang sesat, menyesatkan, dan membuat keresahan serta kegelisahan. Hampir tiap tahun (seolah-olah terprogram dan terencana) aliran-aliran tersebut bermunculan dengan nama yang berbeda-beda, meskipun secara substansi sama. Yakni, aliran yang pemimpinnya mengaku mendapatkan wahyu dari Allah sehingga mengaku menjadi nabi, mengaku menjadi Isa al-Masih, mengaku mampu berkomunikasi dengan malaikat Jibril, dan hal-hal lain yang bagi umat Islam sudah final dan tetap, tidak boleh diperdebatkan dan diikhtilafkan, karena semuanya sudah dijelaskan secara gamblang, baik dalam Alquran maupun sunah Nabi serta kesepakatan mayoritas atau jumhur ulama (ijma ulama).
Bahkan dalam praktik ibadah, aliran-aliran tersebut berani menciptakan aturan dan tata cara tersendiri, yang secara jelas menyimpang dari aturan Islam yang sebenarnya. Misalnya, tidak wajibnya shalat, shalat boleh menghadap ke arah mana saja, ibadah haji tidak perlu ke Makkah. Masalah-masalah tersebut sesungguhnya sudah masuk pada masalah qath'i dan pasti, yang apabila orang berpendapat lain, dapat dianggap murtad dan kufur, seperti halnya mengaku menjadi nabi dan rasul. Padahal Alquran secara tegas menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir, sebagaimana yang diungkapkan dalam QS Al-Ahzab: 40.
Yang sering juga membuat masyarakat resah adalah selalu terlambatnya respons pemerintah dalam menyikapi aliran yang membahayakan dan merusak tersebut. Bahkan pemimpinnya kadangkala diberikan kebebasan berbicara di depan media massa, seolah-olah umat Islam harus bersikap toleran terhadap aliran tersebut. Padahal akibat negatif dari sikap tersebut adalah tersinggungnya akidah dan emosi umat, serta perasaan dilecehkan agamanya.
Dalam hal ini, menurut hemat penulis, toleransi terhadap aliran-aliran yang jelas-jelas merusak tersebut tidak tepat untuk dikembangkan. Akibat merasa tidak terlindungi, umat sering mengambil tindakan menghancurkan langsung secara spontan pusat-pusat dari kegiatan aliran tersebut. Pertanyaannya, apabila sudah terjadi, adilkah jika umat selalu disalahkan dan dikambinghitamkan?
Sesungguhnya, munculnya berbagai aliran sesat tersebut mungkin salah satu makna dari pernyataan Rasulullah SAW, kelak umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk ke dalam neraka, kecuali satu kelompok, yaitu mereka yang mengikuti sunahku dan sunah-sunah sahabatku. Kelompok yang akan selamat itu adalah mereka yang antara lain meyakini keenam rukun iman dan kelima rukun Islam yang bersifat pasti dan tetap, yang syahadatnya terdiri dari dua kalimah syahadat, yaitu asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan rasuulullah (aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah).
Konsekuensi dari penentangan dan pelecehan terhadap hal-hal yang bersifat pasti tersebut adalah dosa besar, yang berhak mendapatkan siksaan dunia dan akhirat, serta kutukan dari Allah SWT, para malaikat-Nya, dan seluruh orang-orang yang beriman. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-Baqarah: 156-163. Sungguh celaka kelompok orang-orang yang suka `nyeleneh' itu.
Langkah-langkah membendungnya
Kita berharap ada upaya bersama dari semua kalangan dan komponen umat untuk membendung dan menghentikan aliran-aliran tersebut, jangan sampai tumbuh dan berkembang, baik sekarang maupun di masa-masa yang akan datang.
Pertama, para ulama, para ustadz, para khatib, dan para guru harus memiliki keberanian untuk menjelaskan kepada umat bahwa setiap aliran yang muncul dan memiliki pemikiran yang jelas-jelas berbeda dengan masalah yang bersifat qath'i tersebut, adalah sesat menyesatkan, berbahaya, merusak, dan menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka.
Jangan sampai umat terpukau oleh retorika kosong, penuh dengan penipuan yang bersumber dari bisikan-bisikan Iblis la'natullah `alaihi, yang dalam bahasa Alquran disebut dengan zukhrufal qauli ghuruura (perkataan yang seolah-olah indah tapi penuh dengan penipuan), sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-An'aam: 112-113. Menurut ayat ini, kelompok ini disebut sebagai musuh para Nabi, yang tentu saja menjadi musuh orang-orang yang beriman.
Kedua, ormas-ormas Islam dengan para ulama dan tokohnya harus bersikap aktif dan responsif dalam menjawab dan menetapkan keputusan terhadap sesatnya aliran tersebut, demi menjaga akidah, syariah, dan akhlak umat. Umat pun harus didorong jika mendengar dan membaca aliran-aliran yang aneh, untuk segera bertanya kepada para alim ulama dan para ahli yang dianggap memiliki pengetahuan keislaman yang luas dan komprehensif, yang disebut dengan ahlul `ilmi dan ahlu adz-dzikr (QS An-Nahl: 43).
Umat harus didorong untuk bersikap kritis, tidak mudah terkecoh dan percaya kepada pemimpin aliran tersebut, bahkan jangan sampai mereka dianggap sebagai "orang-orang pintar". Justru mereka adalah orang yang jahil murakkab (jelas-jelas bodoh tapi tidak merasa bahwa dia bodoh). Ketiga, pemerintah hendaknya bersikap tegas dan segera mengambil tindakan-tindakan hukum terhadap aliran-aliran tersebut. Tidak boleh terkesan sedikit pun pemerintah berada dalam keraguan untuk menghentikannya. Insya Allah umat akan selalu mendukungnya. Wallahu'alam.