Oleh : KH Didin Hafidhuddin
Guru Besar IPB dan Ketua Umum BAZNAS
Irfan Syauqi Beik
Dosen FEM IPB dan Kandidat Doktor Ekonomi Islam IIU Malaysia
Alhamdulillah dengan rahmat Allah akhirnya UU Surat Berharga Syariah Negara telah resmi disahkan oleh paripurna DPR pada tanggal 9 April 2008 lalu. Ini adalah sesuatu yang sangat menggembirakan dan menjadi momentum yang sangat baik untuk mengembangkan industri keuangan syariah ke depan.
Diharapkan arus investasi akan semakin meningkat, pintu lapangan kerja semakin tersedia, dan angka kemiskinan dapat dikurangi. Rencana pemerintah menerbitkan obligasi syariah senilai Rp 15 triliun patut mendapat apresiasi yang luar biasa. Meski demikian, bangsa ini harus terus-menerus berbenah dan memperbaiki diri, mengingat tantangan dan persaingan merebut pasar sukuk akan semakin ketat. Salah satu negara yang memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap sukuk adalah Inggris yang notabene bukan negara Islam.
Sikap Inggris
Dalam pidato yang disampaikan di hadapan Parlemen Inggris pada 12 Maret 2008 lalu, Menteri Keuangan Alistair Darling menegaskan bahwa Pemerintah Inggris memiliki komitmen yang sangat kuat untuk mengkaji penerbitan sukuk negara. Bukti komitmen tersebut adalah dengan memfasilitasinya melalui perencanaan penerbitan sukuk dalam APBN Inggris tahun 2008 ini.
Sejumlah langkah persiapan telah dilakukan sejak April 2007, termasuk meneliti implikasi dari penerbitan sukuk ini terhadap pasar keuangan London dan sistem hukum di negara tersebut. Bagi Inggris, langkah tersebut diambil sebagai upaya untuk menjadikan London sebagai pusat keuangan syariah terkemuka di dunia.
Bahkan, saat ini London merupakan pusat keuangan terkuat di Eropa (New Horizon edisi April-Juni 2007). Keseriusan Inggris juga dapat dilihat dari upaya Menkeu Alistair Darling yang telah mendirikan sejumlah lembaga khusus yang bertugas untuk memberikan input kebijakan yang terkait dengan pengembangan keuangan syariah, yaitu HM Treasury Islamic Experts Group dan HM Revenue and Customs (HMRC) Islamic Finance Group.
Selanjutnya, sejak 21 November 2007 hingga 12 Februari 2008, Kementerian Keuangan Inggris telah membuka konsultasi publik terkait dengan sukuk. Publik dipersilakan memberikan pendapat dan masukan melalui dokumen yang dapat diakses secara online oleh seluruh masyarakat tanpa kecuali.
Pada waktu yang bersamaan, otoritas keuangan Inggris, yaitu FSA (Financial Services Authority) memublikasikan laporan tentang peran yang telah dimainkannya dalam upaya mengembangkan industri keuangan syariah di negeri Ratu Elizabeth tersebut. Yang menarik, laporan tersebut memberikan sejumlah rekomendasi regulasi yang perlu diadopsi oleh Inggris untuk meningkatkan ekspansi bisnis keuangan syariahnya.
FSA juga mengingatkan urgensi menyiapkan SDM yang memiliki kualifikasi khusus untuk mengisi pos Dewan Pengawas Syariah (DPS) mengingat strategisnya peran DPS dalam mengawal kesesuaian bisnis dengan syariat Islam. Jika tidak disiapkan secara serius, hal tersebut berpotensi melemahkan upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah Inggris.
Sungguh ajaib, sebuah negara non-Muslim tetapi memiliki niat kuat untuk mencetak pakar yang diharapkan menguasai ilmu syariah sekaligus ilmu ekonomi. Selanjutnya, Inggris juga berniat menyelenggarakan London Sukuk Summit pada Juni 2008 dengan agenda utamanya antara lain pembahasan tentang rencana Pemerintah Inggris untuk menerbitkan sukuk di pasar retail dan beberapa isu syariah, seperti masalah underlying asset dalam transaksi sukuk serta implementasi bagi hasil dalam sukuk musyarakah.
Dari sisi pelaku pasar, sejumlah perusahaan besar yang termasuk ke dalam kategori blue chip di bursa London mengisyaratkan kesiapan mereka untuk segera menerbitkan sukuk korporasi pada akhir 2008 ini atau awal tahun 2009. Mereka telah mempersiapkan sejumlah langkah sambil menunggu rencana pemerintah melakukan sejumlah perubahan kebijakan dan peraturan terkait dengan masalah perpajakan dan agraria (pertanahan).
Hal lain yang menarik adalah demam sukuk ini juga melanda panitia Olimpiade London 2012. Mereka juga berencana menggali sumber dana penyelenggaraan yang mencapai angka 10 miliar poundsterling (sekitar Rp 180 triliun) melalui sukuk. Angka ini senilai dengan 22,14 persen dari total APBN Indonesia.
Respons oposisi
Meski demikian, upaya Pemerintah Inggris menerbitkan sukuk ini sempat mendapatkan penentangan, terutama dari partai oposisi. Salah satu tokohnya adalah Edward Leigh, anggota parlemen senior dari Partai Konservatif, yang menyatakan bahwa rencana tersebut berpotensi mengubah sistem hukum Inggris yang sekuler ke sistem yang mengadopsi agama tertentu.
Kalangan lain juga sempat mengingatkan bahwa kondisi tersebut mengancam nilai-nilai sekuler Inggris yang selama ini telah diterapkan. Namun, pemerintah yang dimotori oleh Partai Buruh sepertinya tidak peduli. Mereka berpendapat bahwa manfaat yang akan didapat Inggris jauh lebih besar bila dibandingkan dengan madharatnya. Apalagi, hingga saat ini mereka masih merasakan dampak dari krisis kredit perumahan yang terjadi di AS sehingga mencari alternatif instrumen keuangan menjadi sebuah kebutuhan yang tidak terelakkan.
Isu lain yang diangkat pihak oposisi adalah terkait dengan manfaat yang didapat oleh rakyat dan penguasaan asing atas aset-aset Inggris, seperti tanah dan bangunan. Pemerintah pun telah memberikan respons dengan menyatakan hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan.
Manfaat yang akan didapat sangat banyak, seperti tambahan pendapatan pajak negara yang dihasilkan dari transaksi syariah di bursa. Apalagi, sejumlah investor Timteng yang kelebihan likuiditas juga telah menyatakan minatnya untuk berinvestasi di pasar sukuk Inggris. Ini tentu saja akan memberikan keuntungan ekonomis yang luar biasa bagi rakyat Inggris.
Kemudian, tentang penguasaan asing atas aset-aset Inggris, pemerintah menyatakan penguasaan itu terjadi hanya atas hak untuk memanfaatkan aset dan bukan memiliki aset karena konsep yang akan dijalankan adalah lebih menitikberatkan pada sukuk ijarah. Jika yang digunakan adalah sukuk musyarakah, pemerintah bisa menerapkan pola musyarakah mutanaqisah, dengan aset yang telah dikuasai pihak lain dapat dibeli kembali secara bertahap sesuai dengan kesepakatan.
Lembaga The UK's National Savings and Investments (NS&I) pun diperkirakan akan menyelesaikan laporan studi kelayakan sukuk pada musim semi mendatang. Laporan tersebut menjadi salah satu bahan penting dalam pengambilan kebijakan Pemerintah Inggris ke depan.
Tantangan bagi bangsa
Kondisi yang terjadi di Inggris yang berambisi menguasai pasar sukuk bagi kepentingan ekonominya menunjukkan bahwa Islam adalah ajaran yang bersifat universal dan bermanfaat bagi seluruh manusia tanpa kecuali. QS Ar Rum: 30 telah mengingatkan kita bahwa Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia, siapa pun orangnya dan apa pun agamanya.
Bahkan, jika ajaran Islam dilaksanakan dengan baik, maka manfaatnya akan dirasakan oleh seluruh manusia dan alam semesta (QS al-Anbiya: 107). Harus disadari bahwa ekonomi syariah tidak bersifat diskriminatif karena ia bagian dari ajaran Islam yang telah Allah turunkan untuk seluruh manusia dan bukan diturunkan untuk etnis atau ras tertentu saja (QS Saba : 28).
Insya Allah tidak akan ada pihak yang dizalimi karena sesungguhnya ekonomi syariah itu dibangun di atas prinsip keadilan (QS al-Hadid: 25) dan prinsip antieksploitasi (QS Al Baqarah: 279). Bagi Indonesia, sikap Inggris ini harus dipandang sebagai sesuatu yang positif dalam menumbuhkan kompetisi yang sehat.
Kita tidak perlu khawatir, apalagi Indonesia kaya dengan sumber daya. Penulis memperkirakan peta pangsa pasar sukuk yang selama ini didominasi Malaysia akan berubah dalam waktu kurang dari 10 tahun. Bisa jadi, Indonesia yang nantinya akan menjadi leader penerbitan sukuk dunia. Yang terpenting adalah komitmen dan keberpihakan kita untuk menjadikan ekonomi syariah sebagai panglima perekonomian nasional.
Ikhtisar:
- Inggris sangat memahami manfaat yang besar akan lahir dengan mempraktikkan bisnis syariah.
- Potensi dana dari Timur Tengah sangat besar.