Minggu, 28 Oktober 2007

Bahaya Aliran Sesat dan Menyesatkan


Sering kali umat Islam di Indonesia dikejutkan dengan munculnya aliran-aliran yang sesat, menyesatkan, dan membuat keresahan serta kegelisahan. Hampir tiap tahun (seolah-olah terprogram dan terencana) aliran-aliran tersebut bermunculan dengan nama yang berbeda-beda, meskipun secara substansi sama. Yakni, aliran yang pemimpinnya mengaku mendapatkan wahyu dari Allah sehingga mengaku menjadi nabi, mengaku menjadi Isa al-Masih, mengaku mampu berkomunikasi dengan malaikat Jibril, dan hal-hal lain yang bagi umat Islam sudah final dan tetap, tidak boleh diperdebatkan dan diikhtilafkan, karena semuanya sudah dijelaskan secara gamblang, baik dalam Alquran maupun sunah Nabi serta kesepakatan mayoritas atau jumhur ulama (ijma ulama).

Bahkan dalam praktik ibadah, aliran-aliran tersebut berani menciptakan aturan dan tata cara tersendiri, yang secara jelas menyimpang dari aturan Islam yang sebenarnya. Misalnya, tidak wajibnya shalat, shalat boleh menghadap ke arah mana saja, ibadah haji tidak perlu ke Makkah. Masalah-masalah tersebut sesungguhnya sudah masuk pada masalah qath'i dan pasti, yang apabila orang berpendapat lain, dapat dianggap murtad dan kufur, seperti halnya mengaku menjadi nabi dan rasul. Padahal Alquran secara tegas menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir, sebagaimana yang diungkapkan dalam QS Al-Ahzab: 40.

Yang sering juga membuat masyarakat resah adalah selalu terlambatnya respons pemerintah dalam menyikapi aliran yang membahayakan dan merusak tersebut. Bahkan pemimpinnya kadangkala diberikan kebebasan berbicara di depan media massa, seolah-olah umat Islam harus bersikap toleran terhadap aliran tersebut. Padahal akibat negatif dari sikap tersebut adalah tersinggungnya akidah dan emosi umat, serta perasaan dilecehkan agamanya.

Dalam hal ini, menurut hemat penulis, toleransi terhadap aliran-aliran yang jelas-jelas merusak tersebut tidak tepat untuk dikembangkan. Akibat merasa tidak terlindungi, umat sering mengambil tindakan menghancurkan langsung secara spontan pusat-pusat dari kegiatan aliran tersebut. Pertanyaannya, apabila sudah terjadi, adilkah jika umat selalu disalahkan dan dikambinghitamkan?

Sesungguhnya, munculnya berbagai aliran sesat tersebut mungkin salah satu makna dari pernyataan Rasulullah SAW, kelak umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk ke dalam neraka, kecuali satu kelompok, yaitu mereka yang mengikuti sunahku dan sunah-sunah sahabatku. Kelompok yang akan selamat itu adalah mereka yang antara lain meyakini keenam rukun iman dan kelima rukun Islam yang bersifat pasti dan tetap, yang syahadatnya terdiri dari dua kalimah syahadat, yaitu asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan rasuulullah (aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah).

Konsekuensi dari penentangan dan pelecehan terhadap hal-hal yang bersifat pasti tersebut adalah dosa besar, yang berhak mendapatkan siksaan dunia dan akhirat, serta kutukan dari Allah SWT, para malaikat-Nya, dan seluruh orang-orang yang beriman. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-Baqarah: 156-163. Sungguh celaka kelompok orang-orang yang suka `nyeleneh' itu.

Langkah-langkah membendungnya
Kita berharap ada upaya bersama dari semua kalangan dan komponen umat untuk membendung dan menghentikan aliran-aliran tersebut, jangan sampai tumbuh dan berkembang, baik sekarang maupun di masa-masa yang akan datang.

Pertama, para ulama, para ustadz, para khatib, dan para guru harus memiliki keberanian untuk menjelaskan kepada umat bahwa setiap aliran yang muncul dan memiliki pemikiran yang jelas-jelas berbeda dengan masalah yang bersifat qath'i tersebut, adalah sesat menyesatkan, berbahaya, merusak, dan menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka.

Jangan sampai umat terpukau oleh retorika kosong, penuh dengan penipuan yang bersumber dari bisikan-bisikan Iblis la'natullah `alaihi, yang dalam bahasa Alquran disebut dengan zukhrufal qauli ghuruura (perkataan yang seolah-olah indah tapi penuh dengan penipuan), sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-An'aam: 112-113. Menurut ayat ini, kelompok ini disebut sebagai musuh para Nabi, yang tentu saja menjadi musuh orang-orang yang beriman.

Kedua, ormas-ormas Islam dengan para ulama dan tokohnya harus bersikap aktif dan responsif dalam menjawab dan menetapkan keputusan terhadap sesatnya aliran tersebut, demi menjaga akidah, syariah, dan akhlak umat. Umat pun harus didorong jika mendengar dan membaca aliran-aliran yang aneh, untuk segera bertanya kepada para alim ulama dan para ahli yang dianggap memiliki pengetahuan keislaman yang luas dan komprehensif, yang disebut dengan ahlul `ilmi dan ahlu adz-dzikr (QS An-Nahl: 43).

Umat harus didorong untuk bersikap kritis, tidak mudah terkecoh dan percaya kepada pemimpin aliran tersebut, bahkan jangan sampai mereka dianggap sebagai "orang-orang pintar". Justru mereka adalah orang yang jahil murakkab (jelas-jelas bodoh tapi tidak merasa bahwa dia bodoh). Ketiga, pemerintah hendaknya bersikap tegas dan segera mengambil tindakan-tindakan hukum terhadap aliran-aliran tersebut. Tidak boleh terkesan sedikit pun pemerintah berada dalam keraguan untuk menghentikannya. Insya Allah umat akan selalu mendukungnya. Wallahu'alam.

Kamis, 11 Oktober 2007

Menjadi Muzakki atau Munfiq


Salah satu predikat atau sebutan yang selalu melekat pada bulan suci Ramadhan adalah "syahru-zakat" dan "syahru infaq wa shadaqah", bulan zakat dan bulan infak atau sedekah. Meskipun sesungguhnya zakat yang terkait secara langsung dengan bulan Ramadhan adalah zakat fitrah. Zakat harta lainnya, seperti pertanian, perdagangan, peternakan, zakat profesi atau penghasilan, dan zakat perusahaan, bisa dikeluarkan pada bulan Ramadhan, bisa pula di luar Ramadhan.

Tetapi dengan mengambil momentum Ramadhan yang penuh dengan keberkahan, kaum Muslimin lebih cenderung mengeluarkan zakatnya di bulan suci ini. Sedangkan sedekah atau infak, memang dicontohkan oleh Rasulullah SAW seperti dikemukakan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang paling pemurah, dan kepemurahannya menjadi sangat menonjol di bulan suci Ramadhan, begitu cepat memberi dan menolong dalam kebaikan, melebihi cepatnya angin yang bertiup.

Jika sikap kesediaan berzakat dan berinfak (ZIS) ini terus-menerus ditumbuhkembangkan dan dilaksanakan oleh kaum Muslimin, di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya, lalu ZIS ini dikelola dengan baik, transparan dan penuh amanah oleh badan atau lembaga amil zakat, maka yakinlah banyak hal yang bisa dilakukan, apalagi potensi ZIS ini cukup besar, yaitu Rp 19,3 triliun pertahun. Orang-orang miskin yang semakin banyak jumlahnya di negara kita, banyak bisa ditolong melalui kegiatan pembukaan lapangan pekerjaan, lembaga pendidikan yang berkualitas tetapi murah atau gratis, poliklinik atau rumah sakit yang baik dan murah, serta institusi-institusi lainnya yang dibutuhkan.

Yang perlu disadari bersama, bahwa sesungguhnya yang paling banyak mendapatkan manfaat dari pelaksanaan ZIS ini, bukan hanya mustahiq (penerima) saja, melainkan juga orang yang memberi zakat (muzakki) dan orang yang berinfak atau bersedekah (munfiq). Hal ini tercermin dari hikmah disyariatkannya ZIS, antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama; zakat, infak dan sedekah terkait dengan etos kerja. Artinya, orang yang bersedia melaksanakan ZIS pasti memiliki etos kerja yang tinggi. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Mukminun [23] ayat 1-4: "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (1) (yaitu) orang-orang yang khusyu dalam shalatnya (2) dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (3) dan orang-orang yang menunaikan zakatnya (4)."

Kedua; zakat, infak dan sedekah terkait dengan etika bekerja dan berusaha. Orang yang selalu berusaha melaksanakan ZIS pasti akan berusaha mencari rezeki yang halal. Karena ZIS itu tidak akan diterima dari harta yang didapatkan melalui cara yang tidak benar. Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak akan menerima sedekah yang ada unsur tipu daya" (HR. Imam Muslim).

Ketiga; zakat, infak dan sedekah terkait dengan aktualisasi potensi dana untuk membangun umat, seperti telah dikemukakan di atas. Keempat; zakat, infak dan sedekah terkait dengan kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan sosial. Artinya, kesediaan ber-ZIS ini akan mencerdaskan muzakki untuk mencintai sesamanya, terutama kaum dhu'afa. Perhatikan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, beliau bersabda: "Engkau akan melihat orang-orang yang beriman dalam kasih sayang mereka, dalam kecintaan mereka dan dalam keakraban mereka antar sesamanya adalah bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggotanya merasakan sakit, maka sakitnya itu akan merembet ke seluruh tubuhnya, sehingga (semua anggota tubuhnya) merasa sakit, dan merasakan demam (karenanya)."

Kelima; zakat, infak dan sedekah akan mengakibatkan ketenangan, kebahagiaan, keamanan dan kesejahteraan hidup. Allah SWT berfirman dalam QS At-Taubah [9] ayat 103: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." Perhatikan juga hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim, beliau bersabda: "Bertakwalah kalian kepada Allah, kerjakanlah shalat lima waktu, berpuasalah di bulan Ramadhan, dan keluarkanlah zakat pada harta bendamu, untuk ketenangan bagi dirimu dan ikutilah perintah pemimpinmu (yang membawa kepada kebaikan) niscaya Allah SWT akan memasukkan kamu ke dalam surga-Nya."

Keenam; zakat, infak, dan sedekah terkait dengan upaya menumbuh-kembangkan harta yang dimiliki dengan cara mengusahakan dan memproduktifkannya. Artinya harta muzakki dan munfiq akan terus bertambah. Firman Allah dalam QS Ar-Rum [30] ayat 39: "Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)."

Ketujuh; zakat, infak, dan sedekah juga akan menyebabkan orang semakin giat melaksanakan ibadah mahdlah, seperti shalat maupun yang lainnya. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 43: "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku." Ketujuh; zakat, infak, dan sedekah juga sangat berguna dalam mengatasi berbagai macam musibah yang terjadi, seperti di Aceh, Yogyakarta, Jawa Tengah, Bengkulu, dan musibah-musibah lainnya.

Oleh karena itu, mari kita berlomba-lomba menjadi muzakki atau munfiq sepanjang hayat dan hidup kita, sehingga Allah SWT akan memberikan keberkahan pada hidup kita, baik di bulan suci Ramadhan ini maupun di bulan-bulan lainnya. Wallahu 'alamu bi ash-Showab.

Selasa, 09 Oktober 2007

Dua Pilar Kepemimpinan

Sungguh sangat memprihatinkan perasaan kita sebagai bangsa menyaksikan berbagai peristiwa yang menyebabkan rakyat semakin menderita. Kasus lumpur Lapindo yang telah berlangsung selama 1 tahun misalnya, telah mengakibatkan ribuan jiwa kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Bahkan banyak diantara mereka yang menderita gangguan jiwa karena tidak tahan terhadap kondisi dan situasi yang terjadi. Demikian pula sebagian dari mereka pernah melakukan mogok makan, hanya karena mereka tidak mendapatkan jatah makan yang layak sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh pihak terkait. Beberapa kali pula kita melihat mereka berbondong-bondong, dengan ongkos sendiri, mengadukan nasib mereka ke Jakarta untuk bertemu dengan pemerintah. Meskipun mereka telah mendapatkan janji yang menggembirakan, tetapi realisasi dari janji itu masih sangat memprihatinkan.

Kasus lain yang juga mengundang perhatian adalah kasus Meruya selatan yang terjadi beberapa waktu lalu. Meskipun eksekusi tidak jadi dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat, namun penduduk yang sudah puluhan tahun tinggal di situ, merasa khawatir karena pihak Mahkamah Agung memenangkan pihak Portanigra yang merasa tanah-tanah tersebut adalah milik mereka. Yang memprihatinkan, baik masyarakat maupun pihak Portanigra sama-sama merasa memiliki sertifikat asli tanah tersebut. Kita khawatir kasus semacam ini akan terjadi pula di tempat lain. Masyarakat resah, gelisah, merasa tidak terlindungi, dan tidak percaya terhadap dokumen negara yang dikeluarkan oleh lembaga resmi.

Berita terakhir yang juga sangat memprihatinkan adalah sengketa tanah di Pasuruan antara TNI AL dengan masyarakat. Sengketa yang telah berlangsung puluhan tahun ini, telah menimbulkan korban jiwa di kalangan masyarakat banyak. 13 anggota Marinir diduga telah melakukan penembakan terhadap warga yang berada di lokasi sengketa sehingga mengakibatkan meninggalnya sejumlah warga termasuk balita dan anak-anak. Meskipun kasus tersebut saat ini tengah ditangani pihak Polisi Militer Angkatan Laut, dimana ketiga belas anggota Marinir tersebut tengah menjalani pemeriksaan yang intensif, namun hal tersebut telah menimbulkan trauma di kalangan masyarakat disertai dengan perasaan ketidakpercayaan dan ketidakpastian terhadap hukum dan aturan yang berlaku di negara kita. Seharusnya sengketa-sengketa tersebut melalui pengadilan yang transparan, jujur, dan terbuka. Main hakim sendiri, siapapun yang melakukannya, termasuk jika dilakukan oleh masyarakat, adalah tindakan yang seharusnya tidak boleh terjadi di negara kita yang menjadikan hukum sebagai panglima.

Kondisi yang semacam ini seyogyanya menjadi pelajaran yang berharga dalam menata dan membangun kembali pilar-pilar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam perspektif ajaran Islam, esensi kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah melindungi kepentingan masyarakat menuju pada tiga pilar utama, yaitu: (i) beribadah hanya kepada Allah SWT dengan memiliki akidah yang lurus dan syariat yang benar; (ii) memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara layak, dalam bidang sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan; dan (iii) melindungi mereka dari perasaan takut dan khawatir, baik yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya, keluarganya, masa depannya, dan juga lingkungan masyarakat. Ketiga hal ini dikemukakan secara implisit dalam firman Allah Surat Al-Quraisy ayat 3 dan 4 :

“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghlangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”.

Ketiga hal tersebut hanya mungkin bisa diwujudkan di tengah-tengah masyarakat kita apabila didukung oleh kepemimpinan yang kuat, amanah, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Kepemimpinan yang demikian ini akan dapat direalisasikan jika para pemimpin negeri ini melaksanakan dua fungsi utama kepemimpinan, yaitu sebagai ulil amri dan khadimul ummah.

Umara atau ulil amri adalah orang yang diberikan amanah dan kepercayaan untuk menangani segala urusan orang lain (masyarakat). Ia bertanggung jawab penuh terhadap segala persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Pemimpin yang memahami makna ulil amri akan memiliki kesadaran bahwa amanah jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya harus dipergunakan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, sehingga ia akan berusaha untuk berlaku adil dan berusaha untuk melindungi kepentingan masyarakat, terutama kaum yang lemah. Karena itulah, ketika diangkat menjadi khalifah, Abu Bakar ra menyatakan dengan tegas bahwa “aku adalah pemimpin yang berkeinginan orang kuat menjadi lemah di hadapanku dan sebaliknya orang lemah menjadi kuat di hadapanku”. Terhadap pemimpin yang demikianlah, Allah SWT menegaskan pentingnya untuk memiliki ketaatan dan loyalitas, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam QS An-Nisa : 59. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu...”. Sebaliknya, tidak ada loyalitas dan ketaatan terhadap pemimpin yang mengkhianati amanah yang telah diberikan Allah kepadanya.

Fungsi kedua yang juga sangat penting adalah fungsi khadimul ummah atau pelayan masyarakat. Pemimpin yang berorientasi pada pelayanan masyarakat akan senantiasa berusaha untuk melakukan berbagai langkah dan upaya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kepeduliannya terhadap kondisi masyarakat akan tercermin pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Pemimpin yang pro-rakyat inilah yang termasuk ke dalam salah satu kelompok yang akan dilindungi Allah di hari kiamat nanti (al-hadits).

Integrasi konsep ulil amri dan khadimul ummah inilah yang menjadi kunci kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Hukum akan tegak, keadilan akan tercipta, dan kesejahteraan masyarakat akan terwujud. Jika para pemimpin negeri ini mau menyadari dan berusaha untuk mengamalkan pola kepemimpinan yang berjalan di atas kedua pilar tersebut, maka penulis berkeyakinan bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan berjalan dengan selaras dan harmonis, sehinga berbagai macam problematika masyarakat yang ada dapat diselesaikan dengan baik. Wallahu’alam.